PENGOLAHAN LIMBAH TANAMAN KARET DARI PRA PANEN HINGGA PASCA PANEN

PENGOLAHAN LIMBAH  TANAMAN KARET DARI PRA PANEN HINGGA PASCA PANEN

I.  PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang
Dalam suatu rantai produksi usaha di sektor pertanian pasti terdapat sebagian bahan yang entah sengaja atau tidak dibuang. Bahan buangan tersebut dikenal dengan nama limbah pertanian. Biasanya bahan-bahan yang termasuk dari limbah memiliki karakteristik ekplosif atau mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif. Sejatinya, limbah merupakan bahan hasil buangan atau bahan sisa dari suatu proses yang semula dipandang negatif karena dapat menurunkan kualitas ataupun kuantitas bahan pokoknya dan menggangu kelancaran arus produksi serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi pelaku usaha tani tersebut.
Pada umumnya limbah pertanian tidak diolah kembali dan malah dibuang begitu saja ke badan perairan atau sengaja dipendam kedalam tanah. Hal ini karena ketidak-ariafan manusia sebagai pelaku usaha tani dalam menanganani limbah yang sebelumnya benilai negatif untuk kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Akibatnya banyak bermunculan masalah pencemaran lingkungan baik pada tanah ataupun tubuh perairan terdekat. Kegiatan pembuangan limbah ketubuh perairan mengakibatkan menurunnya kulitas air. Sehingga berpotensi menimbulkan gangguan pada aktivitas aquatik. Pada tanah adanya limbah juga dapat mengakibatkan pengrusakan stabilitas sifat kimia, fisika dan biologi tanah.
Salah satu limbah pertanian yang marak memicu permasalahan adalah limbah industri karet. Limbah karet dapat dibagi 4 macam yakni limbah pra produksi dari kebun karet, limbah produksi tanaman karet, limbah pasca panen karet, dan limbah pasca pengolahan industri karet. Semua jenis limbah tersebut pada dasarnya bisa diolah menjadi hal yang lebih bermanfaat dengan sentuhan teknologi dan kreatifitas pelaku usaha tani. Bahkan dari pengolahan limbah tersebut dapat menjadi sumber pendapatan baru yang dapat menekan input dari suatu produksi.
Maraknya angka pencemaran limbah pertanian menjadi dasar dari pemikiran teknologi pengolahan limbah pertanian, tidak terkecuali untuk limbah karet. Teknologi pengolahan limbah karet adalah suatu konsep dari buah kreatifitas manusia dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya bioteknologi, dan mikrobiologi untuk mengubah sisi negatif limbah karet menjadi hal yang bermanfaat misalnya biogas. Namun keterbatasan informasi mengakibatkan hanya segelintir pelaku usaha karet saja yang mengetahui dan mampu menggunakan teknologi tersebut. Padahal tidak sedikit rupiah yang bisa didapat dari usaha pengolahan limbah karet, dan secara sosial pun pengolahan limbah karet membantu masyarakat mengurangi angka pencemaran lingkungan. Oleh karena itulah dinilai penting memahami dan mengaplikasikan informasi teknologi pengolahan limbah karet di lapangan.
1.2    Rumusan Masalah
  1. Apa saja limbah yang dihasilkan pada budidaya tanaman karet sampai pasca pengolahan industri karet ?
  2. Bagaimana cara mengolah limbah yang dihasilkan pada budidaya tanaman karet sampai pasca pengolahan industri karet ?
1.3    Tujuan
  1. Untuk mengetahui limbah yang dihasilkan pada budidaya tanaman karet sampai pasca pengolahan industri karet.
  2. Untuk mengetahui bagaimana cara mengolah limbah yang dihasilkan pada budidaya tanaman karet sampai pasca pengolahan industri karet.
II.    TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Budidaya Karet
Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin, khususnya Brasil. Karenanya, nama ilmiahnya Herea brasiliensis. Sebelum dipopulerkan sebagai tanaman budidaya yang dikebunkan secara besar-besaran, penduduk asli Amerika Selatan, Afrika, dan Asia sebenarnya telah memanfaatkan beberapa jenis tanaman penghasilan getah (Setiawan dan Andoko, 2005).
 Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona antara 15°LS dan 15°LU, curah hujan yang cocok tidak kurang dari 2000 mm. Optimal 2500-4000 mm/ tahun. Tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah yaitu pada ketinggian 200 m dpl sampai 600 m dpl, dengan suhu 25°-30°C (Setyamidjaja, 1993).
Tanaman karet termasuk famili Euphorbiare atau tanaman getah-getahan. Dinamakan demikian karena golongan famili ini mempunyai jaringan tanaman yang banyak mengandung getah (latek) dan getah tersebut mengalir keluar apabila jaringan tanaman terlukai. Mengingat manfaat dan kegunaannya, tanaman ini digolongkan ke dalam tanaman industri (Syamsulbahri, 1996).
Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut :
Divisi               : Spermatophyta
Subdivisi         : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledonae
Ordo                : Euphorbiales
Family             : Euphorbiaceae
Genus              : Hevea
Spesies            : Hevea brasiliensis Muell Arg. (Setyamidjaja, 1993).
Perbanyakan tanaman karet dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Namun demikian, cara perbanyakan yang lebih menguntungkan adalah secara vegetatif yaitu dengan okulasi tanaman.
Pemupukan tanaman karet produktif yang dilakukan dengan dosis yang tepat dan teratur dapat mempercepat pemulihan bidang sadapan, memberi kenaikan produksi 10-20%, meningkatkan resistensi tanaman terhadap gangguan hama penyakit dan tingkat produksi yang tinggi dapat dipertahankan dalam jangka waktu lebih lama (Setyamidjaja, 1993).
Sedangkan penyiangan dalam budidaya karet bertujuan membebaskan tanaman karet dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan. Karenaya, kegiatan pnyiangan sebenarnaay bisa dilakukan setiap saat, yaitu ketika pertumbuhan gulma sudah mulai mengganggu perkembangan tanaman karet. Meskipun demikian, umumnya penyiangan dilakukan 3 kali dalam setahun untuk menghemat tenaga dan bea (Setiawan dan Andoko, 2005).
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Pada tanaman muda, penyadapan umumnya dimulai pada umur 5-6 tahun tergantung pada kesuburan pertumbuhannya. Semakin bertambah umur tanaman semakin meningkat produksi lateksnya. Mulai umur 16 tahun produksi lateksnya dapat dikatakan stabil sedangkan sesudah berumur 28 tahun produksinya akan menurun. Apabila sudah terjadi penurunan produksi lateks karena umur tua, maka tanaman karet sudah waktunya untuk diremajakan (Syamsulbahri, 1996).
Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas kambium dengan menggunakan pisau sadap. Bentuk irisan berupa saluran kecil, melingkar batang arah miring ke bawah. Melalui saluran irisan akan mengalir lateks selama 1-2 jam. Sesudah itu lateks akan mengental (Agung, 2010).
Sebatang pohon karet telah dapat dikatakan memenuhi syarat untuk disadap bila pohon tersebut telah mencapai lilit batang 45 cm pada ketinggian 100 cm di atas pertautan untuk tanaman yang berasal dari bibit okulasi atau pada ketinggian 100 cm dari permukaan tanah untuk tanaman asal biji (Setyamidjaja, 1993).
Sadapan dilakukan dengan memotong kulit kayu dari kiri atas ke arah kanan bawah dengan sudut kemiringan 30° dari horizontal. Pisau sadapan berbentu V dengan demikian aliran lateks akan tertampung pada daerah dasarnya (Syamsulbahri, 1996).

2.2 Industri Karet
Karet merupakan hasil bumi yang bila diolah dapat menghasilkan berbagai macam produk yang amat dibutuhkan dalam kehidupan. Teknologi karet sendiri semakin berkembang dan akan terus berkembang seiring berjalannya waktu dan akan semakin banyak produk yang dihasilkan dari industri ini. Ada dua jenis karet yang biasa digunakan dalam industri yaitu karet alam dan karet sintesis. Karet alam (natural rubber) merupakan air getah dari tumbuhan  Hevea brasiliensis, yang merupakan polimer alam dengan monomer isoprena, sedangkan karet sintetis sebagian besar dibuat dengan mengandalkan bahan baku minyak bumi (Agung, 2010).
Pada dasarnya karet bisa berasal dari alam yaitu dari getah pohon karet
(atau dikenal dengan istilah lateks), maupun produksi manusia (sintetis). Saat pohon karet dilukai, maka getah yang dihasilkan akan jauh lebih banyak. Saat ini Asia menjadi sumber karet alami. Awal mulanya karet hanya hidup di Amerika Selatan, namun sekarang sudah berhasil dikembangkan di Asia Tenggara. Karet telah digunakan sejak lama untuk berbagai macam keperluan antara lain bola karet, penghapus pensil, baju tahan air, dll. Untuk menjaga kualitas dan kontinuitas bahan baku, maka dilakukan pengawasan pada tiap penyadap. Dari hasil penyadapan, dapat ditentukan:
  1. Bobot atau isi lateks : Penyadap menuangkan lateks dari ember-ember pengumpul ke dalam ember-ember takaran melalui sebuah saringan kasar dengan ukuran lubang 2 mm, maksudnya untuk menahan lump yang terjadi karena prakoagulasi.
  2. Kadar Karet Kering (KKK) : Penentuan kadar karet kering (KKK) sangat penting dalam usaha mencegah terjadinya kecurangan para penyadap.
Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lateks, sebagai berikut :
  1. Faktor dari kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon, dan lain-lain).
  2. Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prakoagulasi, musim kemarau
      keadaan lateks tidak stabil).
  1. Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (yang baik terbuat dari aluminium atau baja tahan karat).
  2. Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak, jangka waktu).
  3. Kualitas air dalam pengolahan.
  4. Bahan-bahan kimia yang digunakan.
  5. Komposisi lateks (binaukm,2010).
Pada saat mulai keluar dari pohon hingga beberapa jam lateks masih berupa cairan,tetapi setelah kira kira 8 jam lateks mulai mengental dan selanjutnya membentuk gumpalan karet atau yang lebih dikenal dengan istilah prakoagulasi. Penyebab terjadinya prakoagulasi antara lain sebagai berikut :
1.Penambahan asam
Penambahan asam organik ataupun anorganik mengakibatkan turunya pHlateks sehingga lateks kebun membeku.
2.Mikroorganisme
Lateks segar merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme,mikroorganisme banyak terdapat d ilingkungan perkebunan karet, mikroorganisme ini menghasilkan asam asam yang menurunkan pH, serta menimbulkan bau karena terbentuknya asam asam yang mudah menguap. Bila banyak organisme maka senyawa asam yang dihasilkan akan banyak pula. Suhu udara yang tinggi akan lebih mengaktifkan kegiatan bakteri sehingga dalam pemyadapan ataupun pengangkutan diusahakan pada suhu rendah atau pagi.
3.Iklim
Air hujan akan membawa zat kotoran dan garam yang larut dari kulit batang .Zat zat ini akan mengkatalisis terjadinya prakoagulasi. Lateks yang baru disadap juga mudah menggumpal jika terkena sinar matahari yang terik karena kestbilan koloidnya rusak oleh panas yang terjadi.
4.Pengangkutan
Pengangkutan yang terlambat ataupun jarak yang jauh menyebabkan lateks baru tiba ditempat pengolahan pada siang hari dan sempat terkena matahari sehinggamengganggu kestabilan lateks. Jalan yang buruk atau angkutan yang terguncangguncang mengakibatkan lateks yang terangkut terkocok kocok secara kuat sehingga merusak kestabilan koloid.
5.Kotoran atau bahan bahan lain yang ikut tercampur
Lateks akan mengalami prakoagulasi bila dicampur dengan air kotor, terutamaair yang mengandung logam atau elektrolit. Prakoagulasi juga sering terjadi karena tercampurnya kotoran atau bahan lain yang mengandung kapur atau asam (Anwar, 2001).
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya prakoagulasi antara lain sebagai berikut:
a)      Menjaga kebersihan alat alat yang digunakan dalam penyadapan, penampungan, maupun pengangkutan. Selama pengangkutan dari kebun ke pabrik pengolahan, lateks dijaga agar tidak mengalami banyak guncangan.
b)      Mencegah pengenceran lateks dari kebun dengan air kotor, misalnya air sungai, air saluran atau got.
c)      Memulai penyadapan pada pagi hari sebelum matahari terbit untuk membantuagar lateks dapat sampai ke pabrik atau tempat pengolahan sebelum udaramenjadi panas.Apabila langkah langkah pencegahan diatas sudah dilakukan tetapi hasilnya belumseperti yang diinginkan, maka zat antikoagulan dapat digunakan. Zat antikoagulan ada beberapa macam,tetapi harus dipilih yang paling tepat. Pilihan disesuaikan dengan kondisi lokasi, harga, kadar bahaya zat tersebut dan yang terpenting adalah kemampuan zat tersebutdalam mencegah prakoagulasi (binaukm, 2010).
Dalam pemakaiannya zat antikoagulan biasa digabung untuk menambah daya antikoagulasinya, bisa 2 macam menjadi satu atau tiga macam campuran sekaligus. Berikut ini contoh beberapa antikoagulan yang banyak dipakai di perusahaan atau tempat tempat pengolahan karet diantaranya :
  • Soda atau natrium karbonat (Na2CO3)
  • Amonia (NH3)
  • Formaldehid
  • Natrium sulfit (Na2SO3) (Syamsulbahri, 1996).
2.3 Proses Pembentukan Lembaran Karet 
  1. Penyadapan
Proses penyadapan ini dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 04.00 sampai pada pukul 08.00. Hasil sadapan ini berupa lateks yang di tampung dalam sebuah wadah besar.
  1. Pengangkutan Lateks Segar
Pihak pabrik telah menyediakan beberapa truk untuk mengangkut hasil penyadapan karet yang diambil dari kebun karet yang jauh dari pabrik tersebut yang telah di lengkapi dengan tangki besar untuk menampung lateks segar yang ada pada kebun karet tersebut.
  1. Penerimaan lateks
Dipabrik karet telah disediakan tempat atau bak penampungan untuk menampung semua hasil penyadapan yang berbentuk lateks. Sebelum di masukan ke dalam bak penampungan, lateks sebelumnya di tambahkan Amonia. Proses penambahan ammonia tersebut di tambahkan untuk mencegah terjadinya proses penggumpalan oleh latex itu sendiri.
Lateks yang sudah di tambahkan Amonia kemudia di tuangkan ke bak penampungan untuk di saring terlebih dahulu. Proses penyaringan ini di lakukan untuk menyaring adanya bahan bahan campuran seperti plastik, daun daun, karet yang menggumpal dan masih banyak lagi kandungan yang lainnya. Lateks hasil saringan ini kemudian di tampung lagi dalam sebuah wadah atau bak yang berbentuk sumur.
Pada wadah yang berbentuk sumur ini semua karet hasil penyaringan di tampung untuk diaduk agar supaya busa dari lateks tersebut dapat diambil dan di buang. Pabrik menyediakan tiga buah wadah berbentuk sumur untuk memnampung hasil dari lateks yang di kumpulkan dari kebun karet.
  1. Ketersediaan Air Bersih
Tersedianya air bersih adalah salah satu bagian terpenting dari proses pengolahan lateks menjadi lembaran karet. Ketersediaan air ini sangat berpengaruh terhadap hasil yang di dapatkan. Pada proses pengolahan lateks, air yang di perlukan harus mengalir setiap saat, karena semuah kebersihan tempat pengolahan akan di bersikan dengan menggunakan air, sehingga karet tidak mudah lengket pada wadah atau bak bak penampungan cairan lateks .
Pihak pabrik menyediakan air bersih sesuai prosedur yang ada. Air bersih ini selain digunakan untuk proses pembersihan tempat pengolahan, air bersih ini di gunakan untuk merendam lateks yang di tampung dalam wadah atau bak yang di beri sekat sekat, dan juga di gunakan untuk mengalirkan lateks yang telah di gumpalkan ketempat penggilingan.
  1. Pengaliran Cairan Lateks
Pada pengolahan cairan lateks, cairan lateks yang sudah di saring dan di beri ammonia di alirkan melalui wadah panjang terbuka kurang dengan lebar kurang lebih 20 cm. Cairan lateks tersebut di alirkan dan kemudian di tampung dalam 40 wadah atau bak yang diberi 26 sekat yang telah di bersikan sebelumnya.
Wadah atau bak pengaliran cairan lateks ini di beri lubang setiap satu meter, untuk memudahkan menampung cairan lateks tersebut pada wadah tempat untuk menggumpalkan karet, dapat menggunakan potongan potongan pengalir cairan ini untuk menampungnya di wadah berikutnya. Panjang dari potongan potongan tersebut kurang lebih dua meter.
  1. Proses penggumpalan
Proses penggumpalan adalah proses untuk menggumpalkan cairan lateks  yang akan membentuk  persegi panjang dengan panjang kurang lebih 1 – 1,5 meter. Sebelum di gumpalkan, cairan lateks sebelumnya di alirkan dan di tampung kedalam wadah atau bak yang memiliki panjang 2 -2,5 meter dan lebar 1 – 1,5 yang kemudian di beri 26 sekat untuk membentuk 26 lembaran gumpalan lateks.
Lateks yang di tampung pada bak tersebut mempunyai ukuran banyaknya cairan lateks yang akan di tampung pada wadah tersebut. Wadah atau bak penampung tersebut memiliki tinggi 75 cm, sedangkan setiap wadah hanya dapat di isi kurang lebih 24 cm cairan lateks untuk di gumpalkan. Setelah wadah atau bak tersebut di isi dengan ukuran tersebut, maka 1 centi meternya di isi dengan asam semut. Berarti semua cairan dalam wadah tersebut memiliki tinggi 25 cm yang berisi lateks dan asam semut itu sendiri, kemudian cairan dalam wadah tersebut diaduk sebanyak empat kali adukan secara bertahap .
Proses pengadukan ini bertujuan untuk mengambil busa busa cairan lateks yang kemudian di buang pada tempat pembuangan yang tersalur pada penampungan limbah. kemudian sekat sekat tesebut di pasang dengan antara setiap sekatnya kurang lebih 20 cm.
Proses penambahan asam semut disini, bertujuan untuk mempercepat penggumpalan lateks. Setelah proses pemasangan sekat selesai, wadah tersebut di tutup dengan menggunakan terpal untuk mencegah terjadinya oksidasi oleh udara. Dengan menunggu sekitar satu jam, lateks tersebut dengan sendirinya akan menggumpal. Kemudian lateks yang telah menggumpal pada wadah tesebut di isi air, dengan tujuan lateks tersebut tidak melekat pada wadah tersebut sehingga mudah untuk di angkat dan di keluarkan. Dengan menunggu sekitar satu jam, barulah karet di angkat kemudian di alirkan dengan air pada tempat penggilingan.
7.Proses penggilingan
Proses penggilingan di lakukan setelah menunggu satu jam gumpalan karet yang di diamkan pada pengaliran menuju alat penggilingan. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, barulah gumpalan lateks tersebut di giling sehingga membentuk lembaran lembaran karet dengan ketebalan pada setiap lembaran karet tersebut setebal tiga centi meter.Lembaran lembaran karet hasil penggilingan tersebut kemudian di keringkan dahulu sebelum diangkut ke proses pengasapan. Lembaran lateks yang di giling tersebut harus berbentuk lembaran panjang dan di usahakan supaya tidak terbentuk lembaran pendek. Lembaran karet tersebut tudak membentuk lembaran rata, akan tetapi lembaran terbentuk dengan lembaran berbintik bintik yang telah di buat pada alat penggilingan. Proses pembuatan bintik bintik ini supaya karet tidak mudah rusak oleh jamur dan pengaruh lainya. Setelah kering, kemudian lembaran karet di angkut ke ruang pengasapan.
8.Proses pengasapan
Proses pengasapan adalah proses yang di lakukan untuk merubah warna lembaran karet dari warna putih menjadi warna cokelat. Pada proses pengasapan ini juga di lakukan untuk mengeringkan lembaran karet. Proses pengasapan di lakukan pada sebuah ruangan yang di sebut kamar asap. Proses pengasapan di lakukan sebanyak lima hari dengan bahan bakar yang di gunakan adalah kayu karet 2,5 sampai dengan 3 M3 / ton setiap harinya.
Setiap harinya proses pengasapan di lakukan dengan kemar asap yang mempunyai suhu yang berbeda beda. Suhu kamar sesuai hari lembaran karet dalam kamar asap sebagai berikut :
– Hari pertama suhu yang digunakan adalah 40 derajat celcius
– Hari kedua suhu yang digunakan adalah 45 derajat celcius
– Hari ketiga suhu yang digunakan adalah 50 derajat celcius
– Hari keempat suhu yang digunakan adalah 55 derajat celcius
– Hari kelima atau hari terakhir suhu yang digunakan adalah 60 derajat celcius
Setiap kamar asap, suhu tidak boleh kurang atau lebih. Jika suhu kurang atau melebihi suhu yang di tentukan, maka akan sangat berpengaruh pada hasil yang didapatkan. Setelah lima hari berada di dalam kamar asap, kemudian lembaran lembaran karet di angkut keruang sortasi dengan warna lembaran karet yang sudah ditentukan dan layak masuk kedalam ruang sortasi.
9.Sortasi
Sortasi adalah proses pengumpulan lembaran lembaran karet sebelum pengepakan. Pada ruang sortasi ini lembaran lembaran karet akan di pisahkan sesuai warna dari karet yang di sebut Riber Smoked sheat dan di singkat dengan RSS. Dalam proses sortasi, lembaran karet di bedakan dengan empat RSS yaitu RSS 1, RSS 2, RSS 3, dan RSS 4. Setiap RSS di bedakan dengan warna dari lembaran karet tersebut. RSS 1,2,3, dan 4 mempunyai warna sama yaitu warna cokelat tetapi ada perbedaan di setiap RSS seperti contoh RSS1 lebih cokelat di bandingkan RSS4 yang mempunyai warna cokelat kehitaman, begitu juga pada RSS2 dan RSS3 dimana keempatnya mempunyai warna mirip namun berbeda. Setelah proses pembedaan di setiap RSSnya, di lakukan proses selanjutnya yang dinamakan cutting atau proses pengguntingan.
Proses cutting juga dilakukan di dalam ruang sortasi. Proses cutting, dilakukan pemeriksaan terhadap karet karet yang rusak. Kerusakan pada karet dapat di lihat dengan adanya warna putih pada lembaran lembaran karet dengan menggunakan lampu neon warana putih, kemudian lembaran karet yang mempunyai warna bintik bintik putih di dalamnya akan di gunting. Lembaran karet yang bersih dari bintik bintik berwarna putih di simpan sesuai warna RSS masing masing dan lembaran karet yang memiliki warna bintik bintik putih di simpan untuk di daur ulang.
10.Pengepakan
Proses pengepakan dilakukan di dalam ruang sortasi. Pengepakan di lakukan dengan melakukan penimbangan terlebih dahulu. Untuk RSS yang utuh berat yang harus di timbang untuk pengepakan adalah 113/ ball, sedangkan untuk cutting 116 / ball. Namun setiap pengepakan tidak semuanya mempunyai berat seperti yang di tentukan di atas. Berat dari pengepakan dapat di sesuaikan dengan pesanan pemasok. Sebelum di lakukan pengepakan, lembaran karet tersebut di pres terlebih dahulu dan kemudian dilakukan pengepakan setelah itu lembaran karet tersebut dibungkus yang dinamakan pembungkusan ball dan di beri merk (Davitra, 2012).
2.4 Limbah Pertanian
Limbah merupakan hasil sisa dari sebuah proses yang tidak dapat digunakan kembali, apabila limbah ini terlalu banyak dilingkungan maka akan berdampak pada pencemaran lingkungan dan berdampak pada kesehatan dari masyarakat sekitar. Limbah dibagi menjadi dua bagian sumber yaitu limbah yang bersumber domestik (limbah rumah tangga) dan limbah yang berasal dari non-domestik (pabrik, industri dan limbah pertanian). Bahan-bahan yang termasuk dari limbah harus memiliki karakteristik diantaranya adalah mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif dan lain-lain (Pratama, 2012).
Metcalf & Eddy (2003) mendefinisikan limbah berdasarkan titik sumbernya sebagai kombinasi cairan hasil buangan rumah tangga (permukiman), instansi perusahaaan, pertokoan, dan industri dengan air tanah, air permukaan, dan air hujan.
Luas lahan pertanian yang produktif memberikan luas panen dan hasil samping limbah pertanian. Limbah pertanian adalah sisa dari proses produksi pertanian. Limbah pertanian antara lain berupa kotoran ternak, jerami padi, jerami kacang-kacangan, serasah dan ranting tumbuhan. Limbah pertanian yang mengalami proses pelapukan atau fermentasi baik secara alami maupun melalui bantuan activator akan menghasilkan pupuk organik. (Karyaningsih, dkk, 2008)
Menurut Winarno, dkk (1985) limbah pertanian merupakan bagian dari tanaman pertanian yang tersisa setelah dipanen atau diambil hasil utamanya. Limbah pertanian dapat berbentuk bahan buangan tidak terpakai dan bahan sisa dari hasil pengolahan seperti tempurung kelapa, serbuk gergaji, sekam padi, ampas tebu, dan jerami.
Proses penghancuran limbah secara alami berlangsung lambat, sehingga tumpukan limbah dapat mengganggu lingkungan sekitarnya dan berdampak terhadap kesehatan manusia. Melalui pendekatan teknologi, limbah pertanian dapat diolah lebih lanjut menjadi hasil samping yang berguna di samping produk utamanya (Himawanto, 2003). Secara garis besar limbah pertanian itu atas empat kelompok yaitu :
  1. Limbah pertanian pra panen, contohnya daun, ranting atau buah yang gugur sengaja atau tidak.
  2. Limbah pertanian panen, contohnya batang atau jerami saat panen padi.
  3. Limbah pertanian pasca panen, contohnya kulit atau jeroan pada ternak potong.
  4. Limbah industri pertanian, contohnya molases pada pabrik gula tebu (Widodo, 2009).
2.5 Limbah Industri Karet
Cairan ini dikenal dengan nama air limbah karet yang sebagian besar komponennya sendiri dari air dan zat-zat sisa pengolahan karet. Dalam industri pengolahan karet, air digunakan sebagai bahan pengencer lateks, pembuatan larutan-larutan kimia, pencuci hasil pembekuan dan alat-alat yang digunakan, serta mendinginkan mesin-mesin. Sisa air yang digunakan akan dikeluarkan dalam bentuk limbah (Tim Penulis PS, 2000).
Kebutuhan bahan baku karet dipenuhi oleh petani karet berupa bahan olah karet berbentuk kepingan atau batangan balok, dari proses pengolahan karet tersebut menghasilkan limbah cair yang banyak mengandung senyawa organik. Pengendalian pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah karet perlu mendapat perhatian yang serius untuk dipelajari dan diteliti agar tingkat pencemaran limbah yang dibuang keperairan berada dibawah Baku Mutu Lingkungan (BML) yang telah ditetapkan (Pratama, 2012).
Pembuangan limbah yang belum diolah dengan optimal terus menyumbang kerusakan lingkungan, sehingga harus segera diatasi. Pengolahan limbah masih menjadi masalah di negara industri karet. Bau busuk dan limbah adalah masalah besar dan harus terus diatasi dengan komitmen semua pihak. Bau busuk yang dihasilkan proses pembekuan karet alam sangat mengganggu pernapasan. Sedangkan limbah cair yang tidak dikelola dengan baik seringkali langsungdibuang ke sungai, sehingga merusak lingkungan (Waskito,2008).
Air limbah karet dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman setelah diolah. Berdasarkan penelitian, unsur N, P, K, dan Mg terdapat di dalam limbah. Walaupun masih dalam taraf uji coba, beberapa tempat yang telah melakukan pengolahan limbah memberikan sisa air limbah ini kepada tanaman karetnya sebagai pupuk (Tim Penulis PS, 2000).
2.6 Arti Penting Mengolah Limbah
Meminimalisasi limbah merupakan implementasi untuk mengurangi jumlah dan tingkat cemaran limbah yang dihasilkan dari suatu proses produksi dengan cara pengurangan, pemanfaatan dan pengolahan limbah. Pengolahan limbah tersebut penting agar:
  1. Menghemat Sumber Daya Alam
  2. Menghemat energi
  3. Menghemat lahan TPA
  4. Menjadikan lingkungan asri
  5. Mengurangi pencemaran
III. PEMBAHASAN
3.1    Limbah Budidaya dan Industri Karet
Limbah pertanian pada umumnya terbagi menjadi limbah pra panen, saat panen, pasca panen dan pasca pengolahan. Begitu juga yang terjadi pada kegiatan budidaya dan industri pengolahan tanaman karet (Hevea brasiliensis). Budidaya karet berarti rantai produksi lateks dan kayu karet yang tentunya menghasilkan limbah, dimana limbah tersebut dibagi menjadi limbah pra panen, saat panen dan pasca panen. Sedangkan industri pengolahan karet juga memiliki rantai produksi yang nantinya akan menghasilkan limbah yang disebut limbah pasca pengolahan. Limbah-limbah tersebut memang sengaja tersegmentasi atau dipisah-pisahkan menurut asal dari rantai produksi mana dihasilkan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah kegiatan penanganan dan pengolahan selanjutnya.
Limbah pra panen berarti limbah yang dihasilkan selama budidaya tanaman karet sampai sebelum panen. Limbah pra panen biasanya berupa bagian generatif dan vegetatif tanaman karet yang sudah berguguran misalnya dedaunan dan ranting tanaman karet. Limbah pra panen tersebut biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Dedaunan dan ranting tanaman karet sengaja dikomposkan untuk dijadikan pupuk kompos. Prinsip pengolahan limbah pra panen karet untuk dijadikan pupuk hijau pada dasarnya sama dengan pembuatan pupuk kompos pada umumnya yakni pengomposan dengan menggunakan bantuan mikroorganisme pengurai yakni EM-4.
Limbah selanjutnya adalah limbah saat panen dan pasca panen tanaman karet. Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman yang saat panennya berkala dengan rentang waktu pemanenan yang cukup panjang jika tanaman karet tersebut memang benar-benar masuk di periodik panennya. Menurut Tim Penulis PS (2008), tanaman karet (Havea brasiliensis Muel Arg) baru bisa menghasilkan lateks setelah berumur 5-6 tahun dengan masa produksi 25-35 tahun. Pasca panen karet disini mencakup kegiatan pemindahan lateks dari kebun ke pengepul, transportasi dan penyimpan oleh pengepul. Selama proses panen lateks dan kayu karet sampai pasca panen pasti akan menghasilkan limbah. Limbah-limbah tersebut diantaranya :
  • Lateks yang berceceran dan menempel di dinding mangkok
Lateks merupakan merupakan cairan yang berbentuk koloid berwarna putih kekuning-kuningan yang dihasilkan oleh pohon karet (Oktaviana, 2009). Tidak semua lateks dapat tertampung dengan baik pada mangkuk penyadapan. Hal ini disebabkan oleh letak mangkuk sadapan, dan keterampilan penyadap maupun aspek kecurangan penyadap.  Jika prosedur penyadapan tidak dilakukan dengan baik, maka tidak jarang ditemukan lateks yang berceceran baik di tanah maupun di sekita pohon karetnya. Limbah lateks yang berceceran tersebut nantinya akan dipungut oleh penyadap-penyadap nakal guna dijual kembali dengan harga yang lebih murah. Pengolahan limbah karet saat panen sejenis ini biasanya berupa pengolahan karet sheet bermutu rendah.
  • Kulit kayu, ranting, dan daun
Kulit kayu sisa penyadapan dapat dikombinasi bersama daun dan ranting pohon karet yang didapat dari hasil pra panen karet untuk dijadikan pupuk kompos.
Selain aspek budidaya karet, industri pengolahan karet juga memiliki andil dalam memproduksi limbah pasca pengolahan karet yang jauh lebih beragam. Limbah pasca pengolahan industri karet diantaranya :
  • Air limbah karet
Air limbah karet dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman setelah diolah degan benar. Berdasarkan penelitian, unsur N, P, K, dan Mg terdapat di dalam limbah. Walaupun masih dalam taraf uji coba, beberapa tempat yang telah melakukan pengolahan limbah memberikan sisa air limbah ini kepada tanaman karetnya sebagai pupuk (Tim Penulis PS, 2000). Pada initinya pengolahan airr limbah karet sepagai pupuk tanaman melibatkan bantuan mikroorganisme yang mampu mengurai zat dalam limbah menjadi zat yang lebih sederhana dan tersedia untuk tanaman
  • Limbah padatan hasil olah lateks
Limbah padatan dapat ditemui diberbagai tempat pengolahan karet, salah satunya di PTP Nusantara IX (Persero) Pabrik RSS Kerjoarum. Limbah padat yang dihasilkan berupa busa lateks dan sisa slab yang kemudian ditampung pada bak koagulan sebagaimana yang dijelaskan Oktaviana (2009).
  • Limbah cair pengolahan lateks
Limbah cair pengolahan lateks dapat ditemukan pada PTP Nusantara IX (Persero) Pabrik RSS Kerjoarum. Limbah cairnya berupa air sisa produksi. Dalam air tesebut masih mengandung sisa-sisa lateks yang berasal dari proses produksi atau pembersihan alat dan area. Inti dari pengolahan limbah cair tersebut adalah sterilisasi limbah atau penstabilan muatan limbah agar dosis toksisitasnya dapat terkurangi. Teknisnya, limbah cair ditampung pada bak penampungan limbah untuk kemudian diendapkan, disaring dan sisanya dialirkan ke lingkungan.
  • Ban Karet
Ban karet merupakan bentuk lain dari limbah pasca pengolahan industri karet yang paling sering ditemukan disemua tempat. Tingginya angka penggunaan kendaraan bermotor berkorelasi dengan tingginya penggunaan ban karet.  Sejalan dengan  itu,   keberadaan   ban ‐ban   bekas  yang   sudah   tidak  terpakai   tentu  menjadi  masalah  tersendiri  untuk  ditangani.
3.2    Pengolahan limbah budidaya dan industri karet
Limbah budidaya dan industri karet dapat menjadi polutan bagi lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya perilaku pengolahan agar limbah tersebut bernilai positif atau setidaknya tidak mencemari lingkungan. Pengolahan limbah budidaya dan industri karet yang sudah pernah ada dan diterapkan dimasyarakat meliputi :
a.      Pupuk kompos dari limbah budidaya karet dan air limbah karet
Limbah budidaya karet mulai dari pra-saat-pasca panen hampir memiliki kesamaan yakni sebagian besar berupa kulit kayu, dedaunan dan ranting yang gugur. Limbah-limbah tersebut merupakan material organik yang mampu dijadikan pupuk kompos. Tidak hanya itu saja air bekas pencucian lateks atau mangkuk lateks  dapat juga dijadikan komponen pendukung dalam formulasi pembuatan pupuk. Berdasarkan penelitian, unsur N, P, K, dan Mg terdapat di dalam limbah. Walaupun masih dalam taraf uji coba, beberapa tempat yang telah melakukan pengolahan limbah memberikan sisa air limbah ini kepada tanaman karetnya sebagai pupuk (Tim Penulis PS, 2000).
Pembuatan pupuk kompos sangatlah sederhana. Alat yang dibutuhkan cukup cetok, serok, mesin pengayak, mesin penggiling dan bak pengomposan, sedangkan bahannya adalah limbah dan EM4. Secara garis besar, pengomposan atau pembuatan pupuk kompos melewati beberapa tahapan yakni sortasi atau pemilah-milahan sampah organik untuk kemudian dipisahkan dari batu dan kerikil. Selanjutnya adalah penggilingan limbah dengan tujuan untuk memperkecil ukuran limbah yang semua tidak seragam. Lalu dilakukan penyaringan agar ukuran limbah yang akan dikomposkan benar benar seragam atau lebih halus. Selanjutnya adalah pengomposan atau pemasukan limbaa kedalam  bak pengomposan. Pengomposan dengan bantuan EM4 dan berjalan selama 3 minggu dalam keadaan tertutup rapat atau anaerob.
b.      Sterilisasi limbah cair pengolahan lateks sebelum dialirkan ke sungai
Menurut Oktaviana (2009) pada PTP Nusantara IX (Persero) Pabrik RSS Kerjoarum limbah cairnya berupa air sisa produksi. Dalam air tesebut masih mengandung sisa-sisa lateks yang berasal dari proses produksi atau pembersihan alat dan area. Inti dari pengolahan limbah cair tersebut adalah sterilisasi limbah atau penstabilan muatan limbah agar dosis toksisitasnya dapat terkurangi. Teknisnya, limbah cair ditampung pada bak penampungan limbah untuk kemudian diendapkan, disaring dan sisanya dialirkan ke lingkungan.
c.       Pembuatan biogas dari limbah cair pengolahan lateks
Menurut Oktaviana (2009) dari hasil analisa sampel limbah lateks di atas diketahui bahwa limbah lateks cair di PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kerjoarum memiliki nilai COD dan BOD yang cukup tinggi dibandingkan standar yang ada. Hal ini berarti kandungan oksigen dari limbah tersebut cukup minim dan sangat cocok bagi perkembangan mikrobia anaerobik, misalnya bakteri metagenik. Bakteri metagenik adalah bakteri khusus yang mampu memproduksi gas metan. Selain itu proses pembuatan gas metana secara anaerob juga melibatkan interaksi kompleks dari sejumlah bakteri yang berbeda, protozoa maupun jamur misalnya bakteri Bacteroides, Clostridium butyrinum, Escericia coli dan beberapa bakteri usus lainnya, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Dua bakteri terakhir merupakan bakteri utama penghasil metan dan hidup secara anaerob. Gas metan merupakan kunci tercetusnya ide untuk mengembangkan teknologi biogas limbah cair lateks yang sekarang ini mulai dipraktekan sebagai alternatif pengganti bahn bakar fosil yang semakin langka.
Kondisi anaerob limbah cair tersebut didukung dengan perlakuan tanpa aerasi maupun sirkulasi sehingga memang benar-benar terjadi tanpa ada oksigen. Hal ini karena sejatinya biogas merupakan gas yang keluar dari material organik seperti kotoran ternak, dedaunan kering dan sampah organik yang direndam di dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob. Oktaviana (2009) menerangkan bahwasanya proses pembuatan biogas terjadi melalui reaksi anaerobik yakni
(C6H10O5)n + nH2O 3n CO2 + 3n CH4
Pendapat lainnya adalah pembuatan gas  metana ini terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu:
a. Hidrolisis secara enzimatik bahan-bahan organik tak larut menjadi bahan-bahan organik dapat larut. Enzim utama yang terlibat adalah selulase yang menguraikan selulosa.
b. Perubahan bahan-bahan organik dapat larut menjadi asam organik. Pembentukan asam organik ini terjadi dengan bantuan bakteri non methanogenik, protozoa dan jamur. 4 C5H10O5 + 24 H2O 12 CH3COOH + 4 HCOOH + 8 H2O
c. Perubahan asam organik menjadi gas metan dan karbondioksida. Proses perubahan ini dapat terjadi karena adanya bantuan bakteri metanigenik (Methanobacterium dan Methanobacillus). 12 CH3COOH 12 CO2 + 12 CH4
Pembuatan biogas dalam hal ini masih belum bisa murni dari limbah cair namun dicampur dengan beberapa komponen organik lain seperti kotoran ternak dan daun, hal ini berdasarkan perbadingan komposisi menilik pada penelitian yang telah ada (Oktaviana,2009)
Pembuatan biogas biasanya menggunakan tabung yang dipendam didalam tanah. Pada usia 3 pekan baru terlihat adanya tanda-tanda akan diproduksinya gas Metan oleh bakteri metagenik tersebut. Indikatornya adalah munculnya gekembung-gelembung pada campuran bahan dengan warna bahan yang semakin mengeruh. Gas metan akan dialirkan menuju gelas piala sehingga bisa diukur dan diamati berapa ml volume gas yang dihasilkan.
Oktaviana (2009) juga menyebutkan bahwasanya dari pengamatan yang dilakukan selama sekitar 1 bulan, gas yang terukur baru sekitar 600ml/L limbah. Namun, hasil tersebut belum cukup valid dikarenakan adanya beberapa prosedur percobaan yang tidak sesuai, misalnya temapat yang digunakan untuk bahan pembuatan biogas, volumenya tidak sebanding dengan volume bahan (volume bahan = ½ volume tempat) sehingga masih cukup banyak gas yang belum mengalir ke gelas ukur melainkan masih berada dalam ruang bahan yang masih kosong.
Untuk mendukung daya olah bakteri mutagenik terhadap limbah cair karet tersebut sehingga proses produksi gas metan menjadi lebih cepat maka perlu ditambahkan ion katalis Fe3+ hanya sekitar 0,5 mg/L, hal ini dibenarkan oleh Irma,dkk (2008) dalam Oktaviana (2009) yakni Ion tersebut berfungsi sebagai katalis yang akan mempercepat reaksi terbentuknya biogas. Hal ini disebabkan pada proses anaerob biasanya sel akan kekurangan ion besi dan vitamin B.
Berikut ini merupakan prosedur sederhana pengolahan biogas menurut Oktaviana (2009)
1. Alat yang Digunakan                      2. Bahan Yang Digunakan
  • Botol gelas                                          Limbah Karet ± 1 liter
  • Selang plastik                                      Daun kering ± 33 liter
  • Pengaduk                                            Kotoran sapi 10 gram
  • Karet Gelang
  • Gelas ukur 10 ml
4. Cara Kerja
  • Mencampurkan 1,2 L limbah lateks dengan 10 gram pupuk kandang dan 33 gram daun kering dalam botol gelas.
  • Biogas yang dihasilkan dialirkan ke dalam gelas ukur dan dipasang dengan posisi terbalik (seperti pada gambar rangkaian alat)
  • Mengamati skala pada gelas ukur yang menujukkan volume biogas yang terbentuk.
  •  Catat perubahan yang terjadi pada bahan biogas dan volume biogas yang terbentuk setelah 4 minggu.
d. Mengolah limbah ban karet bekas
Teknologi pengolahan limbah ban karet bekas yang sudah dipaparkan oleh PT. Artha Teknindo-ARTECHPT sangatlah sederhana. Pada awalnya ban dihancurkan menjadi  ukuran kecil +/ ‐5cm, selanjutnya  potongan ban dimasukkan  kedalam  tabung  reaktor dengan menambah  katalis  tertentu  untuk dipanaskan  sampai   dengan temperature 50 C.  Gas  yang keluar  dari   pemanasan   ini   langsung  didinginkan,   sehingga   akan  diperoleh minyak (setingkat  Premium atau Solar atau Minyak   Tanah) dan Gas Sintetis  bersifat  flammable   yang   dilalirkan  kembali  ketabung   reaktor  sebagai  sumber  panas,  Proses   ini   dikenal   dengan  Catalytitic Pyrolisis. Selain  menghasilkan  minyak  dan   gas,   proses   ini   juga  akan   menghasilkan  produk   yang   bernilai  ekonomi  yakni  Carbon Black  yang   dapat  dijual  kepada   pabrik-pabrik. Ban  dan  kawat   baja  yang  dapat  dijual  kepada  pabrik-pabrik pengecoran  logam. Setiap  10.000  kg potongan  ban  yang diproses secara pirolisa  dapat menghasilkan:
  • 4.500 ltr   Minyak
  • 3.300 kg  Carbon  Black
  • 1.100 kg   Kawat  baja
  • 1.100 kg   Gas  Sintetis
Selain itu limbah ban karet bekas juga dapat diolah menjadi ban karet baru dengan beberapa perlakuan yakni penghalusan bagian permukaan bahan ban karet lalu pengeleman ban karet dengan lem khusus ban karet. Setelah itu bahan dilapisi dengan lapisan karet yang tipis namun setelah dipanaskan mampu mengembang dengan cukup baik. Setelah itu ban di pres dengan mesin khusus dengan diselubungi uap panas sehingga selubung karet tipis tadi mengembang dan tercetak alur-alur roda baru yang menempel pada ban bekas yang sudah di lem dengan kuat tersebut. Dan pada akhirnya ban tersebut menjadi ban baru kembali dengan alur ban yang bagus.
IV. KESIMPULAN
4.1    Kesimpulan
Adapun dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
  1. Limbah budidaya tanaman karet (pra-saat-pasca panen) meliputi kulit kayu, ranting, daun dan lateks yang berceceran dan menempel di dinding mangkok. Sedangkan limbah industri pengolahan karet meliputi limbah pasca pengolahan yakni air limbah karet, limbah padatan hasil olah lateks, limbah cair pengolahan lateks, dan  ban karet bekas.
  2. Limbah karet baik limbah budidaya ataupun limbah industri karet dapat diolah menjadi pupuk kompos dari limbah budidaya karet dan air limbah karet, disterilkan  ssebelum dialirkan ke sungai, dapat juga berupa biogas dari limbah cair pengolahan lateks, serta mengolah ban karet bekas menjadi ban baru, minyak, carbon black, kawat baja, dan gas sintetis.
4.2    Saran
Teknologi pengolahan limbah karet ternyata sangat beragam dan sederhana untuk diaplikasikan. Akan lebih baik, apabila segenap instansi pemerintah, stake holder perkebuanan dan industri karet serta petani karet lainnya bekerja sama menuju produksi karet bersih yang minim limbah atau dengan jalan pemanfaatan limbah seoptimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C., 2001Budidaya Karet. Medan : Pusat Penelitian Karet
Agung. 2010. Budidaya Tanaman Karethttp://www.membuatblog.web.id /2010/02/budidaya-tanaman-karet.html.diakses tanggal 18 September 2012
Binaukm.2010.Pengolahan Getah Karet (Lateks)http://binaukm.com/2010/06   /pengolahan-getah-karet-lateks/.diakses tanggal 19 September 2012
Davitra, Marrits.2012.Proses Pengolahan Latekshttp://ritzkogege.blogspot.com
/2012/02/proses-pengolahan-lateks.html. diakses tanggal 19 September 2012
Himawanto, D. A.2003.Pengolahan limbah pertanian menjadi biobriket sebagai    salah satubahan bakar alternatif.Laporan Penelitian, UNS. Surakarta.
Karyaningsih,Sri, Isnani Herianti dan Tota Suhendrata.2008.Daya Dukung Limbah Pertanian Sebagai Sumber Pupuk Organik di Kabupaten  Sukoharjo.Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008  Yogyakarta, 18-19 November 2008
Kusnoputranto, Haryoto.1985Kesehatan Lingkungan. Jakarta :FKM UI
Oktaviana T.D., Aptika. 2009. Analisa Pengolahan Limbah Lateks Menjadi Biogas di PT. Perkebuanan Nusantara IX (PERSERO) Kerjoarum Karanganyar Jawa Tengah. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Pratama, Dodik.2012.Pengolahan Limbah Karet di Jember.http://dodikfaperta.blogspot.com/2012/02/pengolahan-limbah-karet-di  jember.html.diakses tanggal 18 Setember 2012
PT. Artha Teknindo-ARTECHPT. Tanpa Tahun.Mengolah Ban Bekas Menjadi Energi. Bekasi : PT. Artha Teknindo-ARTECHPT
Setiawan, D. H. dan A. Andoko. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Jakarta : Agromedia Pustaka
Setyamidjaja, D.1993. Karet. Yogyakarta : Kanisius
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Yogyakarta : Gadjah        Mada University Press
Tim Penulis PS. 2000. Panduan Lengkap Karet. Jakarta : Niaga Swadaya
Waskito, Agung. 2008. Penanganan Limbah Pabrik Karet Remah.http://ml.scribd.com/doc/48564059/Penanganan-Limbah-Pabrik-Karet  Remah. diakses tanggal 18 September 2012
Widodo,Heyrie. 2009. Pengertian Limbah Pertanian.http://heyriedow.blogspot.com2011/09/v-pengertian-limbahpertanian.html. diakses tanggal 18 September 2012
Winarno, F.G. 1985. Monografi Limbah Pertanian. Jakarta : Kantor Menteri Muda Urusan        Peningkatan Produksi Pangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sel Tumbuhan

SISTEM PEREDARAN DARAH TERTUTUP DAN PEREDARAN DARAH GANDA

Sejarah Kerajaan Seriwijaya